Mustofa Bisri, Kiai, Penyair dan Pelukis
MESKI Kiai Haji Achmad
Mustofa Bisri dikenal sangat mobil. Kesana-kemari tak kenal lelah, baik
untuk ceramah, diskusi, rapat NU, silaturahmi atau baca puisi. Tapi di
bulan Ramadhan, jangan harap bisa ‘mengeluarkan’ Gus Mus —panggilan
akrabnya— dari Pondok Pesantrennya di Rembang.
Kenapa ?
Sebab tradisinya adalah : selama bulan Puasa, Gus Mus pilih kumpul
dengan keluarga dan para santrinya.
Dia juga membiasakan membaca takbir dan shalawat 170 kali sehabis
Maghrib dan Isya.
“Ini memang sudah rutin” katanya. “Bila Ramadhan, saya khususkan untuk
tidak keluar. Semua undangan ditolak !
”
* * *
SANGAT boleh jadi, masa-masa bulan suci itu, juga digunakan Gus Mus
untuk melakukan dua ‘hobi’ lainnya : menulis puisi dan melukis.
Untuk kegemarannya menulis, memang ada yang mengatakan sebagai nyleneh.
Padahal, menurutnya, “bersastra itu sudah menjadi tradisi para ulama
sejak dulu !”
“Sahabat-sahabat Nabi itu semua penyair, dan Nabi Muhammad SAW pun gemar
mendengarkan mereka bersyair. Pernah Rasulullah kagum pada syair
ciptaan Zuhair, sehingga beliau melepas pakaian dan menyerahkan
kepadanya sebagai hadiah !
”
* * *
JADI, kiai berpuisi itu tidak nyleneh ?
“Sebenarnya bukan saya yang nyleneh, tapi mereka !”
Mereka siapa ?
Yang mengatakan dirinya nyleneh !
Sebab, menurutnya, “sastra itu diajarkan di pesantren. Dan kiai-kiai
itu, paling tidak tiap malam Jumat, membaca puisi. Burdah dan Barzanji
itu kan puisi dan karya sastra yang agung ?!”
“Al Qur’an sendiri merupakan mahakarya sastra yang paling agung !
”
* * *
WALHASIL, meski KHA Mustofa Bisri adalah Rais Syuriah PBNU. Meski dia
anggota Dewan Penasihat DPP PKB. Meski dia Pimpinan Pondok Pesantren
Raudhatul Thalibien di Rembang. Tapi kegiatan menulis puisi memang sudah
menjadi darah-dagingnya
“Bersastra itu kan kegiatan manusia paling tinggi, melibatkan rasio dan
perasaan !” katanya.
Nyatanya pula, Prof Dr Umar Kayam memahami sekali hal itu. “Dalam
perjalanannya sebagai kiai, saya kira, ia (Gus Mus) menyerahkan diri
secara total sembari berjalan sambil tafakur. Sedang dalam perjalanannya
sebagai penyair, ia berjalan, mata dan hatinya menatap alam semesta dan
puak manusia dengan ngungun, penuh pertanyaan dan ketakjuban” katanya.
Hasilnya, antaralain kumpulan puisi bertajuk Tadarus. “Inilah perjalanan
berpuisi yang unik !” lanjut Begawan Sastra Indonesia itu
.
* * *
SELAIN menulis puisi, Mustofa Bisri juga punya kegemaran melukis.
Karyanya sudah puluhan atau mungkin ratusan. Tapi kurang jelas, apakah
karyanya itu juga dikoleksi para pandemen lukisan — dengan membeli
seperti mereka membeli karya lulusan ISI, misalnya.
“Kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis” kata pula
Jim Supangkat, kurator kenamaan itu. “Kesannya ritmik menuju dzikir,
beda dengan kaligrafi !
”
* * *
ADA KEJADIAN menarik ketika diselenggarakan Muktamar I PKB di Surabaya.
KHA Mustofa Bisri termasuk yang diunggulkan jadi Ketua Umum.
Pendukungnya juga banyak. Bahkan konon Gus Dur pun men-support.
Tapi, ternyata, Mustofa Bisri sendiri menolak. Atau mengundurkan diri !
Gus Mus justru ... mengadakan pameran lukisan bersama dua temannya, yang
mereka beri judul Tiga Pencari Teduh.
Ternyata, dunia politik memang tidak cocok bagi Gus Mus. “Saya mendengar
politik saja sudah gerah” katanya. “Apalagi masuk ke dalamnya !”
Itulah salah satu motivasi dia menggelar pameran lukisan. Mencari
keteduhan di tangan gemuruhnya politik !
Satu Kamar dengan Gus Dur di Al Azhar, Kairo, Mesir
BEGITU bapaknya, begitu pula ayahnya. Begitu kakeknya, begitu pula
cucunya. Inilah yang terjadi pada Achmad Mustofa Bisri, atau Gus Mus.
Kakeknya, H Zaenal Musthofa, dikenal sebagai penulis cukup produktif.
Ayahnya, KH Bisri Musthofa, lebih produktif lagi. Juga lebih beragam
kegiatannya. Baik di lingkungan politik, pemerintahan, maupun di bidang
kebudayaan.
Bisri Musthofa juga dikenal sebagai orator ulung!
Dua putranya kemudian mengikuti jejaknya. KH Cholis Bisri ‘mewarisi’
bakat ayahnya dalam politik, dan kini menjadi Wakil Ketua MPR. Sementara
adiknya, Achmad Mustofa Bisri, ‘mewarisi’ kepiawaiannya dalam menulis
dan bersastra.
Tapi keduanya tetap ‘jago’ dalam soal agama, seperti kakeknya maupun
ayahnya. Mereka juga memimpin pondok pesantren.
***
ACHMAD MUSTOFA BISRI dilahirkan di Rembang pada 10 Agustus 1944.
Selain mendapat gemblengan dari keluarga sendiri yang memang keluarga
muslim yang sangat taat. Gus Mus memperoleh gemblengan di Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri yang sohor itu. Kenangannya pada pesantren ini,
antara lain terekam dalam puisinya berjudul Lirboyo, Kaifal Haal?
“Lirboyo, masihkah penghuni-penghunimu percaya pada percikan/
sawab-sawab mbah Manaf, mbah Marzuqi, dan mbah Mahrus rachimakumullah? /
ataukah seperti dimana-mana itu tidak mempunyai arti apa-apa / kecuali
bagi dikenang sesekali dalam upacara haul yang gegap gempita”
***
SELAIN memperdalam ilmu di Lirboyo, Gus Mus juga suntuk di Pondok
Pesantren Krapyak, Yogya. Puncaknya belajar di Universitas Al Azhar,
Kairo.
Di Al Azhar itulah, untuk pertama kali Gus Mus bertemu dan berkenalan
dengan Gus Dur, yang kemudian menjadi Presiden keempat Republik
Indonesia.
Seperti pengakuannya sendiri, mereka kemudian tinggal di satu kamar. Gus
Dur banyak membantu Gus Mus selama di perguruan tinggi tersebut. Bahkan
sampai memperoleh beasiswa.
Uniknya, atau ironisnya, Gus Dur sendiri kemudian tidak kerasan di Al
Azhar. Dia DO. Lalu meneruskan studinya di Irak.
***
PULANG ke tanah air awal 1970-an, Gus Mus langsung... dinikahkan dengan
Siti Fatwa. Gadis teman Gus Mus sendiri di masa kecil.
Jadi, agaknya, selama Gus Mus studi di Al Azhar, kedua orangtua mereka
mematangkan rembuk untuk menjodohkan putera-puteri mereka!
“Banyak kenangan di antara kami” kata Gus Mus pula. “Semasa kecil saya
kan sering menggodanya!”
Pasangan ini kemudian dianugerahi tujuh putra-putri. Sikap Gus Mus yang
liberal didasari kasihsayang, agaknya sangat mengesankan putra-putrinya.
Buktinya, Kautsar Uzmut, putri keduanya, memujanya. “Dia itu tipe Abah
yang top!” katanya. “Saya sendiri memfigurkan pria seperti Abah yang
nanti menjadi suami atau pendamping saya. Tapi terus terang, sangat
sulit!”
***
MERASA tidak cocok dengan dunia politik, Gus Mus yang menguasai bahasa
Arab, Inggeris dan Prancis memang kemudian lebih banyak berkiprah
sebagai ‘kutu buku’ dan ‘penulis buku’. Tentu, di samping jabatan
‘resmi’ sebagai Rais Syuriah PB NU, Anggota Dewan Penasihat DPP PKB, dan
tentusaja Pimpinan Pondok Pesantren di Rembang.
Meski Gus Mus
pernah jadi Anggota MPR mewakili PPP, tapi ‘kiprah politiknya’
samasekali tidak menonjol. Sebab yang mencuat justru karya sastranya.
Di antara karyanya adalah: Ensiklopedi Ijmak, Proses Kebahagiaan, Pokok
Pokok Agama, Kimaya Sa’adah, Nyamuk yang Perkasa dan Awas, Manusia.
Serta kumpulan puisi OHOI, Tadarus, Pahlawan dan Tikus, Rubayat Angin
dan Rumput, dan lainnya.
Selamat bertadarus puisi, Pak Kiai-penyair! (Minggu Pagi Online)
PROFIL PRIBADI »
Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), kini pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth
Thalibin, Rembang. Mantan Rais PBNU ini dilahirkan di Rembang, 10
Agustus 1944. Nyantri di berbagai pesantren seperti Pesantren Lirboyo
Kediri di bawah asuhan KH Marzuqi dan KH Mahrus Ali; Al Munawwar Krapyak
Yogyakarta di bawah asuhan KH Ali Ma'shum dan KH Abdul Qadir; dan
Universitas Al Azhar Cairo di samping di pesantren milik ayahnya
sendiri, KH Bisri Mustofa, Raudlatuth Thalibin Rembang.
Menikah dengan St. Fatma, dikaruniai 6 (enam) orang anak perempuan :
Ienas Tsuroiya, Kutsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiatul Bisriyah, Nada dan
Almas serta seorang anak laki-laki: Muhammad Bisri Mustofa. Kini beliau
telah memiliki 5 (lima) orang menantu: Ulil Abshar Abdalla, Reza Shafi
Habibi, Ahmad Sampton, Wahyu Salvana, dan Fadel Irawan serta 7 (tujuh)
orang cucu: Ektada Bennabi Muhammad; Ektada Bilhadi Muhammad; Muhammad
Ravi Hamadah, Muhammad Raqie Haidarah Habibi; Muhammad Najie Ukasyah,
Ahmad Naqie Usamah; dan Samih Wahyu Maulana.
Selain sebagai ulama dan Rais Syuriah PBNU, Gus Mus juga dikenal sebagai
budayawan dan penulis produktif.
-- Menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa, seperti:
Intisari; Ummat; Amanah;Ulumul Qur’an; Panji Masyarakat; Horison; Jawa
Pos; Republika; Media Indonesia; Tempo; Forum; Kompas; Suara Merdeka;
Kedaulatan Rakyat; Detak; Wawasan; Bali Pos; Dumas; Bernas…
-- Sejumlah karya yang telah diterbitkan:
●Ensiklopedi Ijmak (Terjemahan bersama KHM Ahmad Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta);
● Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya);
● Awas Manusia dan Nyamuk Yang Perkasa (Gubahan Cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta);
● Maha Kiai Hasyim Asy’ari (Terjemahan, Kurnia Kalam Semesta, Jogjakarta);
● Syair Asmaul Husna (Bahasa Jawa, Cet. I Al-Huda, Temanggung; Cet. II 2007, MataAir Publishing);
● Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung);
● Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Ummat (Cet. II 1999, Risalah Gusti, Surabaya);
● Al-Muna, Terjemahan Syair Asma’ul Husna (Al-Miftah, / MataAir Publishing Surabaya);
● Mutiara-mutiara Benjol (Cet. II 2004 MataAir Publishing, Surabaya);
●
Fikih Keseharian Gus Mus (Cet. I Juni 1997 Yayasan Al-Ibriz bejerhasana
dengan Penerbit Al-Miftah Surabaya; Cet. II April 2005, Cet. III
Januari 2006, Khalista, Surabaya bekerjasama dengan Komunitas Mata Air);
● Canda nabi & Tawa Sufi (Cet. I Juli 2002, cet. II November 2002, Penerbit Hikmah, Bandung);
● Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Jogjakarta)
•
Kompensasi (Cet. I 2007, MataAir Publishing, Surabaya)
-- Cerpen-cerpennya dimuat dalam berbagai harian seperti Kompas, Jawa
Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia dan buku kumpulan cerpennya, Lukisan
Kaligrafi (Penerbit Buku Kompas, Jakarta) mendapat anugerah dari Majlis
Sastra Asia Tenggara tahun 2005.
-- Disamping puisi-puisi yang diterbitkan dalam berbagai Antologi
bersama rekan-rekan Penyair (seperti dalam “Horison Sastra Indonesia,
Buku Puisi”; “Horison Edisi Khusus Puisi Internasional 2002”; “Takbir
Para Penyair”; “Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air”; Ketika
Kata Ketika Warna”; “Antologi Puisi Jawa Tengah”; dll),
kumpulan-kumpulan puisi yang sudah terbit :
● Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Cet. I Stensilan 1988; Cet. II P3M Jakarta 1990; Cet. III 1991, Pustaka Firdaus, Jakarta);
● Tadarus (Cet. Pertama 1993 Prima Pustaka, Jogjakarta);
● Pahlawan dan Tikus (Cet. I 1995, Pustaka Firdaus, Jakarta);
● Rubaiyat Angin & Rumput (Diterbitkan atas kerja sama Majalah Humor dan PT Matra Multi Media, Jakart, Tanpa Tahun);
● Wekwekwek (Cet. I 1996 Risalah Gusti, Surabaya);
● Gelap Berlapis-lapis (Fatma Press, Jakarta, Tanpa tahun);
● Negeri Daging (Cet. I. September 2002, Bentang, Jogjakarta);
● Gandrung, Sajak-sajak Cinta (Cet.I Yayasan Al-Ibriz 2000, cet. II, 2007 MataAir Publishing, Surabaya)
• Aku Manusia (MataAir Publishing, 2007, Surabaya)
• Syi'iran Asmaul Husnaa (Cet. II MataAir Publishing, 2007,Surabaya)
• Membuka Pintu Langit (Penerbit Buku Kompas, Jakarta November 2007)
-- Kegiatan Pameran:
• Pameran tunggal 99 Lukisan Amplop Desember 1997 di Gedung Pameran Senirupa Depdikbud Jakarta
• Pameran bersama Amang Rahman (Alm) dan D. Zawawi Imron Juli 2000 di Surabaya
•
Pameran Lukisan dan Pembacaan Puisi bersama Danarto, Amang Rahman
(Alm), D. Zawawi Imron, Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor..
November 2000 di Jakarta
• Pameran Kaos Kaligrafi, Mei 2001 di Surabaya
• Pameran Kaos Kaligrafi, Agustus 2001 di Jakarta
•
Pameran Lukisan bersama kawan-kawan pelukis antara lain Joko Pekik,
Danarto, Acep Zamzam Noor, D. Zawawi Imron, dll, Maret 2003
• Pameran bersama dalam rangka Jambore Seni, Juli 2006
• Pameran Kaligrafi Bersama, Jogya Galery, 2007

No comments:
Post a Comment