Wednesday, 1 October 2014

Chocolate Maskulin




Istiyanna Yazid

Jalanan masih lenggang, hanya terdengar bunyi truk pengangkut barang menuju pabrik. Kumandang adzan subuh sudah lewat sekitar satu jam yang lalu, untuk seukuran pagi bisa dikata langit masih kurang menguning. Pukul lima dua puluh, tidak lebih tidak kurang. Hal pertama yang dirasakan Minka adalah gugup, tidak percaya, keluar keringat dingin dan semua hal yang dirasakan anak remaja ketika berdekatan dengan laki-laki yang ditaksir. Tangan itu membangunkan Minka lagi. Setiap hari. Bukan pukul lima empat lima, tapi lima dua puluh pas.
Tujuh puluh dua meter pabrik Nestle di Jakarta Selatan tak pernah menghalangi ketajaman penciuman Minka pada makanan bernama cokelat di dalamnya, ataupun pada laki-laki bermata hijau yang menemaninya selama tiga tahun terakhir. Chocolate, nama laki-laki itu, tak pernah protes perihal nama pemberian Minka selama ini yang sering kali menimbulkan pertanya besar, tapi selalu gagal untuk ditanyakan.
“Kamu nggak coba cokelat lain? Misalnya Girardelli, Silverqueen, Cadbury, Ferrero Rocher, Van Hauten hmm…” Mata hijaunya bergerak lincah mengingat macam-macam cokelat terkenal di dunia.
“Kamu pikir saya ngak pernah mencicipi mereka?” Dengan tampang tidak peduli Minka berpikir sejenak mengingat-ingat berapa tahun ia mengkonsumsi produk-produk itu. Matanya tak beralih sama sekali dari layar komputer. Tidak peduli, cuek atau lebih tepatnya tidak berani menatap laki-laki itu, karena takut dia seperti perempuan-perempuan di luar sana yang rela berkorban segala macam demi mendapatkan hati seorang Chocolate. Keadaan seperti ini berlangsung satu tahun lebih, karena bagi Minka bayi itu benar-benar dewasa.
“Sejak kapan selera kamu setia pada Noka?” hasrat Chocolate mulai membuncah untuk mengatakan sesuatu. Tidak mengerti, kesal, tidak dihargai, berbagai rasa  campur aduk.
“Entahlah”
“Bisa kamu jelaskan kenapa kamu memanggil saya A Forbes Chocolate? Saya nggak pernah ngerasa saya hilang ingatan.” Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa dikonsep terlebih dahulu seperti yang Chocolate praktekan setiap hari di depan kaca kamar mandi. Sedang yang ditanya merasa semua sendinya copot satu persatu. Keringat dingin menggelinding deras. Tuhan, Apakah ini saatnya? Tolong, saya ingin salah dengar!
“Saya nggak tahu.”
“Kamu selalu begitu. Jangankan pada perasaan saya. Keberadaan saya selama ini bahkan tak pernah kamu pikirkan. Kamu siapa? Saya siapa?” Minka membatu, pikirannya berputar-putar membongkar ingatan tiga tahun lalu yang sudah ia lipat rapi.
** **
Suatu malam di bulan Desember, jam sebelas tiga puluh pas, tepatnya enam tahun yang lalu, gadis empat belas tahun itu memandangi tiga ribu pohon cokelat yang sedang panen milik ayahnya. Ada rasa sesal menumpuk, karena ia sama sekali tidak bisa mengolah ribuan buah cokelat itu seperti cokelat-cokelat kemas yang ia makan setiap hari. Dia memetik satu buah cokelat paling besar di antara buah cokelat yang lain untuk ia bawa ke tempat Lek Sardi bekerja besok subuh, tanpa berpikir bahwa ayah dan ibunya akan mencarinya tepat menuju kebun cokelat. Mereka hapal kebiasaan Minka.
“Minka! Dasar bodoh! Cepat kemari! Orang setengah kampung dan Kak Bayu mencarimu. Tolong jangan berisik!” Seseorang yang ia sebut Lek Sardi menyeret lenganya kasar. Hampir saja buah cokelat di tangannya jatuh.
“Lek, kita langsung kabur sajalah menuju terminal” Tak ada pilihan lain selain menuruti ide tersebut. Kedua sosok itu kemudian menghilang dalam petang ribuan pohon cokelat.
Dua bulan kemudian, gadis itu tidak berani lagi untuk pulang dari pabrik Nestle tempat Lek Sardinya bekerja, meskipun ayah dan Lek Sardi memohon-mohon pulang, meskipun ibunya menangis sambil menjajikan akan memberi gadis itu seratus cokelat Noka jika mau pulang kampung. Bahkan, gadis bermata biji buah leci itu berani meninggalkan sekolah, meningggalkan teman-temanya di surau, meninggalkan semua kesukaannya di kampung demi sebuah racikan cokelat. Ini tidak benar, ini gila! Tapi, segila apapun gadis itu pada cokelat, keengganannya untuk pulang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pabrik cokelat Nestle yang ia impi-impikan sejak dulu.
** **
Suatu malam di kamar kontrakan kecil agak becek, tepatnya saat Lek Sardi berangkat kerja, buah cokelat sebesar botol air mineral 1500 ml menggeliat tak karuan di samping tempat tidur gadis itu. Reflek dia terkejut bukan ampun. Buah cokelat itu seperti monster yang siap memangsa siapa saja yang ada di dekatnya. Sambil membaca istighfar komat-kamit, gadis itu menutup kepalanya dengan selimut, sambil berharap ini hanya mimpi yang besok akan segera ia ceritakan pada Lek Sardi. Keringat dinginpun menggelinding deras. Sungguh ia ingin berteriak. Baginya ini bukan permainan dalam Harry Potter, bahkan keadan kamarpun kurang mendukung untuk seukuran khayalannya.
Satu jam kemudian….
Tangisan bayi sekonyong-konyong menggema dalam ruangan 4x6 berlatar lampu kuning itu. Gadis dalam selimut semakin penasaran. Apa gerangan yang terjadi dengan buah coklatnya? Seorang bayi laki-laki mulus montok tekapar muncul dari belahan buah coklat yang tadinya tak mau berhenti menggeliat. Ragu ia menggendongnya, lalu senyum sumringah tak bisa ia tahan lagi “Hore! Aku punya bayi cokelat! Hore! Bayi cokelat, bayi cokelat!” ia tak peduli setua apa malam mendengarkan nyanyian riangnya saat itu.
            “Buang bayi itu, Minka! Aku bilang buang! Dia setan!” Lek Sardi muncul tiba-tiba dari balik pintu. Matanya mempelototi gadis tampa dosa yang tidak sampai tujuh menit mengalami bahagia tanpa    tara. Jelas! Gadis itu ketakutan.
            “Aku berjanji akan merawat bayi ini sampai kapanpun. Sekalipun aku harus pergi sendiri tanpa Lek. Aku nggak mau pulang!” Gadis itu meggendong bayinya erat. Air matanya keluar karena ketakutan melihat wajah Lek Sardi yang merah pitam. ** **
Sungguh mencengangkan! Siapa yang menyangka Chocolate, nama bayi itu tumbuh genap gigi diumurnya yang ke dua hari satu setengah malam. Berat badan dan panjangnyapun tak kalah membuat Minka heran bukan kepalang. Satu kilo dan setengah meter setiap hari. Benarkah dia bukan manusia jadi-jadian? Pikir gadis itu berkali-kali. Dan bayi itu tumbuh seratus tujuh puluh delapan meter dengan perawakan, tinggi tubuh, cara bicara dan cara berpikir mirip Leo yang sudah diwisuda S-1 tiga hari yang lalu. Bayi itu sempurna dewasa diumurnya yang ketiga tahun delapan bulan enam hari. Benarkah gadis itu satu rumah dengan pria dewasa selama lima tahun lebih? Apa yang terjadi? Entahlah, hanya mereka berdua yang tahu.
** **
            “Saya harus tahu siapa kamu, siapa diri saya. Walaupun saya yakin saya nggak pernah amnesia. Saya hanya nggak mau kehilangan kamu, saya harap kamu memahami ini lebih.” Chocolate merasa tubuh dan sukmanya mengawang sebebas angin setelah meluncurkan kata-kata itu. Dia juga tidak tahu kenapa.
“Saya cinta kamu Minka. Bukan, Saya cinta kamu dari dulu.” Minka serasa tak bisa bernapas. Mengapa seperti ini skenarionya? Padahal Minka sudah menahan perasaannya berkali-kali, tapi kenapa sebaliknya? Chocolate melawati batas…
“Saya nggak bisa, Cho.”  Hanya itu yang bisa keluar dari suara sunyi Minka setelah mengerahkan semua kekuatan keberaniannya. Dada Minka terlalu sesak.
“Kamu egois.”
“Saya harus pulang kampung besok. Kamu harus tahu kamu sudah dewasa.” Minka menyeka ujung mtanya, mengambil tas lalu menghilang di balik pintu.
“Saya memang pria dewasa.”
“Apa artinya kebersamaan ini?”
“Saya sudah dewasa.”
“Lalu, apa artinya empat tahun bersamaku? Kadang-kadang Tuhan pintar mengolah ketidak adilan.” Chocolate berbisik pelan. Senyap! Bisikannya seperti menggema. Kakinya meleleh, sekujur tubuhnya bergetar. Ia merasakan semua sendinya melunak meleleh, terus meleleh bersama air matanya yang bahkan tak bisa ia hapus sediri. Lihat! Tangannya meleleh, badanya, wajanya dan seluruh tubunya lengket ke lantai seperti cokelat terkena sinar matahari, kulit putihnya pun berubah warna cokelat!…Chocolate mencair?
Ternyata cinta sederhana. Lupakan kalau cinta irasional. Cinta itu harus ditahan, dipilih dan hanya kebijaksanaan yang bisa menemukan rasionalitas sempurna cinta. Kadang-kadang cinta harus bisa sejalan dengan logika. Anggap saja lelucon. Karena, rasanya mustahil jika di dunia ini tidak ada orang bangkit dari patah hati gara-gara kekacauan cintanya. Kalaupun ada yang tidak setuju, mungkin orang itu kurang akrab dengan Tuhan
** **
            “Mama, ini baju cowo?  Kenapa ada di sini? Wah! Ada cokelat mencair juga!” Gadis kecil anak ibu kos menyentuh bercak-bercak cokelat cair di lantai.
“Mungkin itu milik Tante Minka, yang pulang kampung tiga hari lalu.”
“Eh, ada yang masih utuh, Ma!”
“Jangan berisik!”
“Ini cokelat ukuran jumbo! Dark chocolate! Aku nggak mungkin salah lihat. Boleh aku masukkan kulkas, Ma?” Tanpa basa-basi, anak ibu kos itu menyingkap tumpukan kemeja putih dan celana jeans abu-abu penuh bercak cokelat di lantai. Mamanya mengangguk pelan sambil menutup tirai jendela dan meneruskan bersih-bersihnya.






Laksamuda Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut>