Esai Apresiatif pada karya Ferli.
Pasrah
berlalulah jika memang daun daun hatimu mulai menguning
ranting bisa saja patah meski udara bertiup lirih
tidaklah dosa mata yang terpejam pura pura tak mengenal pagi
penyesalan tak harus menjadi artifak malam
biar,biarkan saja kenangan tersimpan dalam kotak kotak kecil
aku sudah terbiasa melihat gelombang memeluk bibir pantai
lalu kembali berlari dan menari
aku sudah terbiasa melihat hujan kala reda lalu menyisakan gerimis
kita yang sebenarnya asing kembali menjadi asing,
Rh 26 sep 14
Sudah berapa minggu, atau berapa bulan saya selalu menolak kahadiran puisi, seperti ini saya menolaknya. “Maaf saya bosan melihat wajahmu yang itu-itu saja,” puisi pergi dengan tak meninggalkan apa-apa kecuali harum tubuhnya yang sebenarnya memikat saya untuk menuliskannya. Tapi, kesadaran dan alam bawah sadarku memiliki kecamuk dan pertikaiannya sendiri. Tak berujung, tak menepi, perang logika dan rasa sering mengalungkan kepedihan yang lebih kejam dari perang yang sesungguhnya. Maka saya pun sering terdiam, tak menoleh pada puisi siapa pun yang berseleweran di depanku. Kadang saya tersenyum, kadang air yang hampir menetes manakala ada satu rasa yang saya dapatkan dari membaca atau (baca) saya tak sengaja lebur dengan puisi-puisi itu.
Berapa pertanyaan perdamaian kerap saya buatkan, mulai dari pembahasan, pertemuan kecil di kotak hitam, lalu belum juga ada kesepakatan untuk berhenti dari perang-perang pradigma, logika, perasaan dan entah sampai semuanya seperti berlalu dengan titik hitam yang kelam. Tapi, sekali saja atau berapa kali saya mengingkari kesepakatan dengan saya sendiri, seperti perang itu, saya mesti melewati garis putih yang saya tahu ketika saya melintasi garis itu, sakit dari akibat kenekatan saya akan sedikit mengurangi ketenangan jiwa saya, kerap mungkin saya akan merasa bersalah, padahal, secara sadar, rindu untuk menengok rumah puisi, dan merasakan hadirnya di jantungku begitu dekat, kaki dan tanganku seolah bergerak tanpa aba-aba, di pasir, di tubuh pohon, atau di bekas koran puisi kembali saya tuliskan.
Saya hampir memilih kemarau, untuk tak mengenang tentang puisi, pertemuan pertama, matanya dan laju kereta yang mengantarkan pertama kali saya datang ke kotanya, kota yang berisikan bunga-bunga, kesejukan dan ribuan kupu-kupu, kota yang dulu indah, kini juga semakin terselip kenangan kecil tentang air mata manusia, dari hidup, sampai semua kelukaan adalah puisi itu sendiri, maka kerap saya yakinkan, saya mencintai puisi karena saya begitu cintanya kepada kehidupan ini, dan kehidupan itu akan lahir dari mata personal, tumbuh jadi kata dan kalimat yang terpendam lalu muntah begitu saja membangun rumahnya sendiri, menghiasi kamarnya dan membuat mimpinya sendiri, itu puisi? Ah berapa kali saya menolak itu curhatan, ah, itu basi dan saya menampar lagi jiwa saya, jiwa yang menolak daerah personal dibeber di depan umum. Tapi, seolah perdebatan panjang saya dengan diri saya yang lain. Puisi itu mahluk aneh, ia kerap buat kita tersenyum, menangis, berduka, sedih lalu hampa. Apa itu tak personal dan apa itu bukan puisi? Karena bagaimanapun puisi telah mampu sampai ke relung jiwamu, andai dia bawa bunga berwarna merah jambu, maka wajahmu akan merona, andai dia membawa kafan, maka matamu sembab, dan andai dia menggelitikmu, maka dirimu akan tertawa dan memeluk puisi serta menciumnya.
Oh, saya rindu puisi, saya ingin menulis namanya lagi, saya akan memperlakukannya dengan baik, saya dan saya, terlalu banyak janji saya buat ketika perasaan itu mengeksodus pemikiran dan kerja logika, saya mulai tak mau menggunakan logika saya untuk melihatmu puisi, jiwaku membutuhkanmu, meski ruang dan pertemuan kini seolah sempit, di jalan yang hening, di jalan yang gelap, atau di jalan di mana orang-orang banyak dipinggirkan oleh kehidupan. Saya seolah berjalan di mana puisi biasa melintasi dan saya mendatangi di mana puisi pernah berteduh di emperan toko di dekat para gelandangan tidur dengan lelap meski kaki-kaki melangkahi tubuhnya, puisi memberinya selimut hangat dan mereka telah indah dengan keindahan yang tak dilihat dari pandangan umum.
Nah, akhirnya saya pasrah dan takluk pada hal pilihan lain, saya akan menikmati semua yang akan diberikan puisi pada saya, hening, hampa, luka, derita dan duka akan saya sesap dengan senyum. Saya akan mengamini keindahan dalam semua kecupannya pada luka yang belum kering di punggung, saat saya membopong puisi dari kerumunan penyamun, saat kakinya pincang dan puisi tersedu, saya akan merawatnya, entah. Apakah ini pengorbanan? Untuk puisi tak ada pengorbanan, karena semua tubuh puisi, tubuhku. Ah, saya ingin mengaitkan kegelisahan saya dengan puisi karya anak muda dengan bahasa yang mulai beranjak dewasa, bukan karena dorongan syahwat pertemanan, saya berapa kali akan mengoceh panjang padanya bila menyodorkan puisi yang tak sampai.
Di suatu suasana rasa yang berbeda, Ferli menulis hal lain dari apa yang saya rasa, tetapi, saya mendapatkan suasananya dengan jabaran kejiwaan saya yang lagi stabil melihat puisi. Maka meski demikian saya menarik puisi Ferli atas dorongan perasaan yang terdalam dan mampu membuat saya tercekik oleh rasa-rasa yang saya tak pahami. Ferli menulis hal lain, jelas puisi ini mengesankan perbedaan dan perpisahan, keharuan dan memilih “pasrah” dalam setiap detik perjalanan untuk tak lagi satu arah dan diam-diam mengamini setiap perubahan, dan Ferli berhasil membahasakan kelukaannya dengan symbol dan tanda-tanda.
Berlalulah jika memang daun daun hatimu mulai menguning.
Bagaimana metafor itu dimainkan sedemikian asyiknya, sehingga suasana hampa lahir dari “daun-daun hatimu “menguning” dan menguning itu menjadi symbol yang seolah akan kering lalu gugur. Menarik bukan ketika bahasa muda yang beranjak dewasa ini pelan-pelan jadi muara perdebatan yang panjang mulai saat Ferli menulisnya di wallnya dan saya sudah terpana, saya jatuh cinta kembali kepada puisi, entah curhat, entah apapun itu rasaku yang mendorong saya kesana.
Terus apa lagi yang saya dapatkan dari puisi Ferli ini. Misal baris kedua juga mengantarkan pada musim gugur, dengan, ranting bisa saja patah meski udara bertiup lirih, oh tanda“ranting” juga pintu masuk untuk kembali lebur di metafor “udara bertiup lirih.” Inilah dua baris yang saling mengikat dan memperkuat tubuh puisi yang sintal, sampailah efek suasana yang menemui pembaca dengan berbagai nuansa dan maknanya. Saya pun begitu oleh karena berapa hal, saya persis atau tepatnya seolah puisi Ferli ini adalah kejenuhan, rasa yang saya alami setelah akan dan telah memilih ikhlas untuk ditinggalkan puisi.
Bagaimana dengan baris yang lainnya? Apakah Ferli mampu mempertahankan dua baris kuat di atasnya, atau kembali merunduk. Mari ini saya hidangkan kekuatan bahasa Ferli. Oleh memang itu saya rasakan.
tidaklah dosa mata yang terpejam pura pura tak mengenal pagi
penyesalan tak harus menjadi artifak malam
Biar,biarkan saja kenangan tersimpan dalam kotak kotak kecil
aku sudah terbiasa melihat gelombang memeluk bibir pantai lalu kembali berlari dan menari.
Di baris-baris ini Ferli agak longgar memainkannya, tapi tetap saja Ferli berhasil mengaluri dengan diskripsi yang menarik dan menuai imajinasi untuk hal itu juga berhasil memberikan nuasa yang kelam, lihat kata “ Artifak malam” dan “Kotak-kotak kecil” lalu di atas pada baris pertama “mata yang terpejam pura-pura tak mengenal pagi.” Seolah kesedihan itu purna pada kalimat itu, bagaimana hebatnya ketika pura-pura menutup mata dan tak mengenal pagi. Atau pura-pura ikhlas tapi sebenarnya perih terasa, atau sama dengan saya, saya pura-pura membenci puisi padahal selalu akan rindu akan hadirnya. Dan, pada baris terakhir kembali ada kalimat, “ aku sudah terbiasa melihat gelombang memeluk bibir pantai lalu kembali berlari menari.” Luar biasa efek dari kalimat ini, kita diajak berkelindan dengan mengikuti kata ke perkata saat ada ketukan kalimat, melihat gelombang memeluk bibir pantai lalu kembali berlari menari. Ini satu kata tegar yang dirangkai pada ruang kalimat yang berbeda.
Ferli berhasil memulai, berhasil mengembangkannya dan berhasil menutupnya, dan okelah saya akhir melahirkan sebuah tanya pada diri saya, apa kira-kira ini menurutmu kerja logika, Fen? Ah aku jadi malu, dan tak menjawabnya dan aku merampas semua kenangan untuk berpuisi kembali dengan menutup esai ini, sebuah kecupan, dan rasa sayang kepada pengkaryanya. Lalu seolah aku dan Ferli sama-sama mengatakan dengan Koor : aku sudah terbiasa melihat hujan kala reda lalu menyisakan gerimis. Kita yang sebenarnya asing kembali menjadi asing.
Luar biasa, kembali saya mendapatkan semangat untuk berkarya, demikian semoga sama-sama bisa belajar bersama, semua orang guru dan alam raya adalah sekolah.
No comments:
Post a Comment